BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dunia pendidikan di Indonesia lebih memandang ilmu pengetahuan berbasis
sains (yang dapat dibuktikan kebenarannya) lebih unggul jika dibandingkan
dengan ilmu pengetahuan sosial. Nyatanya ilmu
pengetahuan sosial menjadi ilmu pengetahuan yang dinomor duakan bahkan sering
dipandang sebelah mata. Orang lebih percaya diri apabila mereka berada pada jurusan sains
dan sebaliknya mereka akan merasa menjadi kasta kedua jika tidak berada pada jurusan sains. Pendidikan kita selama
ini memang telah melahirkan alumnus yang menguasai sains-teknologi melalui
pendidikan formal yang diikutinya. Namun,
pendidikan yang
ada di Indonesia belum
berhasil menanamkan nilai-nilai kebajikan.
Makalah
ini kami susun berdasarkan tugas
Mata Kuliah Filsafat Pendidikan dan Pembelajaran,
dengan sub bahasan aliran filsafat
“Positivisme”. Makalah ini menitikberatkan pada
pemikiran-pemikiran para filosof
aliran positivisme.
B.
Tujuan Pembahasan
Tujuan
dari penyusunan makalah ini adalah untuk mengetahui
para tokoh-tokoh filsafat positivisme beserta pemikiran-pemikirannya. Selain itu agar pembaca
mengetahui seperti apakah implikasi dari filsafat
positivisme di dunia pendidikan.
C.
Rumusan Masalah
- Apakah
filsafat positivisme itu?
- Bagaimanakah
tahapan-tahapan dalam filsafat positivisme ?
- Siapa sajakah
tokoh-tokoh dalam filsafat positivisme ?
- Bagaimana
pemikiran-pemikiran para filosof positivisme ?
- Bagaimana
implikasi aliran filsafat positivisme di dunia pendidikan ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Filsafat Positivisme
Filsafat
positivisme lahir pada abad ke-19
yang digagas pertama kali oleh Auguste Comte (1798
– 1857). Aliran filsafat ini merupakan
kelanjutan dari empirisme. Hanya saja, pada
empirisme menerima pengalaman batiniyah, sedangkan pada positivisme membatasi
pada pengalaman objektif saja.
Menurut filsafat
ini pengetahuan merupakan pernyataan atas
fakta atau keyakinan yang dapat diuji secara empirik. Kata Positivisme
merupakan turunan dari kata positive. John M. Echols mengartikan positive
dengan beberapa kata yaitu positif (lawan dari negatif), tegas, pasti,
meyankinkan. Dalam filsafat, positivisme berarti suatu aliran filsafat yang
berpangkal pada sesuatu yang pasti, faktual, nyata, dari apa yang diketahui dan
berdasarkan data empiris. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, positivisme
berarti aliran filsafat yang beranggapan bahwa pengetahuan itu
semata-mata berdasarkan pengalaman dan ilmu yang pasti. Sesuatu yang maya
dan tidak jelas dikesampingkan, sehingga aliran ini menolak sesuatu seperti
metafisik dan ilmu ghaib serta tidak mengenal adanya
spekulasi.
Berdasarkan uraian
di atas dapat disimpulkan bahwa aliran Filsafat Positivisme
adalah salah satu aliran filsafat modern yang berpangkal dari fakta yang
positif, pasti, faktual, nyata berdasarkan data empiris dan
menolak metafisik serta ilmu ghaib.
B.
Tahapan-tahapan Dalam Aliran Filsafat Positivisme
Menurut
Auguste Comte, aliran Filsafat
Positivisme berkembang melalui 3 tahapan,
yaitu tahap teologis, tahap metafisis, dan tahap ilmiah/positif.
- Tahap Teologis
Tahap dimana manusia
percaya bahwa di belakang gejala-gejala alam terdapat kuasa-kuasa sang pencipta yang mengatur
fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut.
Tahap Teologis ini
dibagi menjadi 3 periode :
a.
Periode pertama di mana
benda-benda dianggap berjiwa (Animisme)
b.
Periode kedua di mana
manusia percaya pada dewa-dewa (Politeisme)
c.
Periode ketiga manusia
percaya pada satu Tuhan
sebagai Yang Maha Kuasa (Monoteisme).
- Tahap
Metafisis
Hendak menerangkan
segala sesuatu melalui abstraksi. Pada tahap ini manusia hanya sebagai tujuan
pergeseran dari tahap teologis. Sifat yang khas adalah kekuatan yang terjadi
bersifat adikodrasi, diganti dengan kekuatan-kekuatan yang mempunyai pengertian
abstrak yang diintrogasikan dengan alam.
- Tahap
Ilmiah/Positif
Yaitu ketika orang
tidaklagi berusaha mencapai pengetahuan yang mutlak baik teologis maupun metafisis. Sekarang orang berusaha mendapatkan
hukum-hukum dari fakta-fakta yang diperolehi
dari pengamatan dan akalnya.
Urutan
perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan tersusun sedemikian rupa, sehingga suatu ilmu selalu mengandalkan
ilmu yang mendahuluinya. Dengan demikian Comte menempatkan deretan ilmu
pengetahuan dengan urutan sebagai berikut : ilmu pasti, astronomi, fisika,
bioligi, dan sosiologi.
Auguste Comte
berkayakinan bahwa pengetahuan manusia melewati tiga tahapan sejarah, yaitu:
1.
Tahapan Pertama,
Tahapan Agama dan Ketuhanan
Pada tahapan ini untuk
menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi hanya berpegang kepada kehendak
Tuhan.
2.
Tahapan Kedua adalah Tahapan
Filsafat
Menjelaskan fenomena-fenomena
dengan pemahaman-pemahaman metafisika seperti kausalitas, substansi dan
aksiolen, esensi dan akstensi.
3.
Tahapan Ketiga
adalah Tahapan Positivisme
Menolak bentuk tafsir agama dan
tinjauan filsafat serta hanya mengedepankan metode empiris dalam mengupas fenomena-fenomena.
C.
Tokoh-tokoh Filsafat Positivisme Beserta Pemikirannya
- Auguste Comte (
1798 – 1857 )
Auguste Comte lahir
di Hontpeller, Perancis. Ia merupakan tokoh
pertama yang memunculkan aliran positivisme. Sebuah karya pentingnya yaitu “Cours de Philisophia Positivie “ (Kursur tentang filsafat positif). Ia berpendapat bahwa
indera itu amat penting dalam memperoieh pengetahuan, tetapi harus dipertajam
dengan alat bantu dan diperkuat dengan experiment. Kekeliruan indera akan dapat
dikoreksi lewat experiment-experiment
yang memerlukan ukuran yang jelas. Misalnya kita tidak cukup
mengatakan api panas, matahari panas, kopi panas. Karena panas memerlukan ukuran yang
teliti. Panas diukur dengan
derajat panas, jauh diukur dengan meteran, berat dengan kiloan, dan sebagainya.
- H. Taine ( 1828 –
1893 )
Ia mendasarkan diri
pada positivisme dan ilmu jiwa, sejarah, politik, dan kesastraan.
- John Stuart Mill ( 1806 – 1873 )
Ia adalah seorang filosof
Inggris yang menggunakan sistem
positivisme pada ilmu jiwa, logika, dan kesusilaan.
- Emile Durkheim (
1852 – 1917 )
Ia
menganggap positivisme sebagai asas sosiologi.
- Charles D. Hardie
Ia mendasarkan
teori positivisme pada dunia pendidikan. Dalam
bukunya “Truth and
fallacy in education theory” ( kebenaran dan kesalahan dalam
teori pendidikan ) menyatakan
bahwa tidak ada yang bermakna tentang pendidikan jika pernyataannya secara empiris tidak
bisa diverifikasi secara benar. Para ahli aliran
positivisme berpendapat bahwa pernyataan
etika hanyalah merupakan ungkapan perasaan seseorang.
- D.J.O” Connor
Menurut teori
D.J.O’Connor aliran positivisme adalah merupakan aliran yang
sadar, bisa dijelaskan dalam sebuah
formulasi verifikasi teori makna yang
bermutu yang merupakan serangan lanjutan terhadap metafisika, sebuah penolakan terhadap teori kognitivisme.
D.
Implikasi Filsafat Positivisme di Dunia Pendidikan
Para
ilmuwan dalam bidang eksakta (kimia, fisika, biologi dan sebagainya) cenderung
menggunakan posisi ontologi, yang memandang dunia secara obyektif. Sehingga epistimologi untuk memperoleh
kebenaran adalah menggunakan metode
obyektif dengan hasil yang dapat digeneralisasikan. Sedangkan para ilmuwan di bidang non-eksakta (Pendidikan
agama, kewarganegaraan, ilmu pengetahuan sosial, dan sebagainya) mengikuti
pemikiran para ilmuwan bidang eksakta. Hal ini dikarenakan pendapat
para ilmuwan eksakta
telah mengakar dan sangat popular.
Hal yang seperti itulah yang pada
akhirnya membawa implikasi yang kurang baik terhadap
pendidikan di Indonesia. Aliran positivisme telah menjadikan ilmu pengetahuan lain
seperti ilmu pengetahuan sosial menjadi ilmu pengetahuan yang dinomor duakan
bahkan sering dipandang sebelah mata. Sekarang dapat kita lihat, institusi pendidikan
pun melakukan hal yang sama. Seorang siswa akan bebas memilih jurusan apapun di
perguruan tinggi apabila ia berlatar belakang pendidikan sains,
sebaliknya bagi mereka yang berlatar
belakang ilmu-ilmu sosial tidak dapat memilih jurusan
diluar latar belakang keilmuannya. Para ilmuwan sosial yang peduli, seyogyanya
berbeda dengan mereka yang ada dalam posisi logical
positivism, yaitu dengan mengambil posisi ontologi hermeneutik (hermeneutics) atau fenomenologi (phenomenology) dengan titik tolak bahwa dunia itu bersifat
subyektif, dan karena itu diperlukan usaha epistemology dengan menafsirkan dunia
yang subyektif tersebut.
Menurut
penganut aliran ini, dunia tidak terorganisasikan secara obyektif sesuai dengan prakonsepsi
sebagian orang. Jika dikaitkan dengan pendidikan maka salah satu tujuan pendidikan bangsa
Indonesia yaitu membentuk manusia seutuhnya, dan yang dimaksud dengan manusia
yang utuh adalah tidak hanya cerdas dari segi kognitif saja melainkan juga
cerdas secara emosi dan cerdas spiritual. Manusia yang diharapkan dalam sistem pendidikan Indonesia
ialah yang mampu berolah pikir, berolah raga, dan berolah rasa. Jika dikaji lebih lanjut aliran Filsafat
Positivisme mengarahkan agar pendidikan ini berkembang menuju kepada hal yang baik, baik dari segi intelektual dan memiliki daya
analisis dari sesuatu. Contoh ketika dalam sebuah
materi pelajaran menjelaskan terjadinya hujan maka akan menuntut siswa untuk
berpikir kenapa hujan itu terjadi?.
Siswa mampu mengembangkan pikirannya, mereka sampai pada pemikiran pasti ada sebab atau bukti kenapa hujan itu terjadi, sehingga dari
hal ini akan mewujudkan generasi kritis-kreatif.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pada
hakikatnya Positivisme adalah salah satu aliran filsafat
modern yang berpangkal dari fakta yang positif, menekankan hal-hal yang berfokus kepada
data yang empiris dan menolak
metafisik serta ilmu ghaib. Suatu ilmu harus
disesuaikan dengan fakta yang sebenar-benarnya terjadi dalam kehidupan.
Menurut Comte, sekarang ini sudah masanya
harus hidup dengan pengabdian ilmu yang positif. Adapun budi itu mengalami tiga tingkatan yang dijadikan tahap dalam aliran positivisme.
Tingkatan pertama adalah tingkatan
teologi, yang menerangkan segala sesuatu dengan pengaruh-pengaruh dan
sebab-sebab yang melebihi kodrat; tingkatan kedua adalah tingkatan metafisika, yang hendak menerangkan segala sesuatu
melalui abstraksi; tingkatan ketiga adalah tingkatan
positif, yang hanya memperhatikan yang sungguh-sungguh serta sebab yang
sudah ditentukan.
Tokoh-tokoh dalam aliran positivisme antara lain
adalah Auguste Comte (1978-1857), menurutnya indera itu penting
untuk memperoleh pengetahuan, pengetahuan harus diperkuat dengan percobaan
(bukti nyata); H.Taine (1828 – 1893), yang
mendasarkan diri pada positivisme dan ilmu jiwa, sejarah, politik dan
kesastraan; John
Stuart Mill (1806 – 1873), seorang filosof Inggris yang menggunakan sistem positivisme pada
ilmu jiwa, logika, dan kesusilaan; Emile
Durkheim (1858 – 1917), yang mengaggap positivisme sebagai asas sosiologi; Charles D. Hardie menggunakan teori positivisme
dikaitkan dengan dunia pendidikan; D.J.O ‘Connor ia berpendapat bahwa aliran
positivisme merupakan sebuah penolakan terhadap teori kognitivisme.
Filsafat
Positivisme mengarahkan agar pendidikan ini berkembang
menuju
kepada hal yang baik dari segi intelektual
dan daya
analisis. Namun kenyataannya di Indonesia aliran ini memberi
dampak yang kurang baik terhadap pelabelan di masyarakat. Di Indonesia ilmu
pengetahuan sosial dinomor duakan bahkan dipandang sebelah mata, orang
lebih percaya diri apabila
mereka berada pada jurusan sains.
Pendidikan yang
ada di Indonesia belum
berhasil menanamkan nilai-nilai kebajikan.
DAFTAR
PUSTAKA
Akhmadi,
Asmoro. Cet. IV 2001. Filsafat Umum,
Jakarta: Raja Grafindo Persada
Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, 2008. Filsafat Umum. Bandung: Pustaka Setia
Bagus,
Lorens. 1991. Metafisika. Jakarta: Gramedia
Bertens,
K. 1973. Sejarah Filsafat Yunani. Jakarta: Kanisius
B.R. Hergenhahn & Mattew H. Olson. 2008. Theories of
Learning, (Seventh Edition).
Hamline
University.
Suparlan Suharsono. 2009. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA
Wibisono, Koento. Cet. II 1996. Arti Perkembangan menurut
Positivisme Comte. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
“Fenomenologi,
Hermeneutika dan Positivisme” dalam http://veggy.wetpaint.
com/page/Fenomenologi,+Hermeneutika+dan+Positivisme (diakses, 01 Maret 2013)
No comments:
Post a Comment