A.
Hakikat dan Tujuan Pendidikan Karakter
1.
Sejarah Munculnya Pendidikan Karakter
Secara khusus
dalam konteks pendidikan istilah karakter muncul pada akhir abad 18. Istilah
ini pertamakali dicetuskan oleh pedagog Jerman F.W. Foerster. Terminologi ini
mengacu pada sebuah pendekatan idealis-spiritualis dalam pendidikan yang juga
dikenal dengan teori pendidikan normatif, yang menjadi prioritas adalah
nilai-nilai transenden yang dipercaya sebagai motor penggerak sejarah. Foerster
tidak menghapus pentingnya peran metodologi eksperimental maupun relevansi
pedagogi naturalis.
Lahirnya pendidikan karakter bisa dikatakan sebagai
sebuah usaha untuk menghidupkan kembali pedagogi ideal-spiritual yang sempat
hilang diterjang gelombang positivisme yang dipelopori oleh filsuf Prancis
Auguste Comte. Foerster menolak gagasan yang beranggapan pengalaman manusia
pada sekedar bentuk murni hidup alamiah. Manusia tidak semata-mata taat pada
aturan alamiah. Melainkan kebebasan itu dihayati dalam tata aturan yang
sifatnya mengatasi individu, dalam tata aturan nilai-nilai moral. Pedoman nilai
merupakan kriteria yang menentukan kualitas tindakan manusia di dunia.
Dinamika pemahaman pendidikan karakter berproses melalui
tiga momen: momen historis, momen
reflektif, dan momen praktis. Momen historis, yaitu usaha
merefleksikan pengalaman umat manusia yang bergulat dalam menghidupi konsep dan
praktis pendidkan khususnya dalam jatuh bangun mengembangkan pendidikan
karakter bagi anak didik sesuai dengan konteks zamannya. Momen reflektif, sebuah momen yang melalui pemahaman intelektualnya
manusia mencoba mendefinisikan pengalamannya, mencoba melihat persoalan
metodologis, filosofis, dan prinsipil yang berlaku bagi pendidikan karakter. Momen praktis, yaitu dengan bekal pemahaman teoritis
konseptual itu, manusia mencoba menemukan secara efektif agar proyek pendidikan
karakter dapat efektif terlaksana di lapangan (Koesoema, 2007: 308).
2.
Hakikat Pendidikan Karakter
Pendidikan menurut John Dewey adalah proses pembentukan
kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama
manusia. Tujuan pendidikan dalam hal ini agar generasi muda penerus bangsa
dapat menghayati, memahami, dan mengamalkan nilai atau norma-norma yang
melatarbelakangi hidup dan kehidupan. Menurut UU Sisdiknas pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa,
dan negara. Dari definisi pendidikan menurut UU Sisdiknas di atas sudah
tersirat bahwa pembentukan karakter yang positif merupakan tujuan pendidikan
yang diprioritaskan. Hal ini sesuai dengan pendapat Dr.Martin Luther King ”Intelligence plus character....that is the
goal of true education”(kecerdasan plus karakter....itu adalah tujuan akhir
dari pendidikan sebenarnya). Namun, nyatanya kebijakan pendidikan di Indonesia
lebih mementingkan aspek kecerdasan otak. Ada yang berpendapat bahwa kurikulum
pendidikan di Indonesia dibuat hanya cocok diberikan kepada 10-20 persen
otak-otak terbaik. Artinya, 80-90 persen anak sekolah tidak dapat mengikuti
kurikulum pelajaran yang diajarkan di sekolah.
Prof. Suyanto, Ph.D (2009) mendefinisikan karakter adalah
cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas individu untuk hidup dan
bekerjasama di lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Thomas
Lickona (1991) mendefinisikan orang yang berkarakter sebagai sifat alami
seseorang dalam merespons situasi secara bermoral, yang dimanifestasikan dalam
tindakan nyata melalui tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab,
menghormati orang lain, dan karakter mulia lainnya. Hal ini senada dengan
pendapat Aristoteles yang menyatakan bahwa karakter itu erat hubungannya dengan
habit atau kebiasaan yang
terus-menerus dilakukan. Pendapat lain dikemukakan oleh Simon Philips dalam
bukunya Refleksi Karakter Bangsa (2008:235),
karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang
melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan. Sementara itu,
Koesoema A (2007:80) menyatakan bahwa karakter sama dengan kepribadian.
Kepribadian dianggap sebagai “ciri atau karakteristik atau gaya atau sifat khas
dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari
lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil dan juga bawaan seseorang sejak
lahir”. Ratna Megawangi, menyampaikan bahwa istilah karakter diambil dari
bahasa Yunani yang berarti ‘to mark (menandai).
Istilah ini lebih fokus pada tindakan atau tingkah laku, ada dua pengertian
karakter dalam hal ini. Pertama bagaimana seseorang bertinglah laku dan kedua
erat kaitannya dengan kepribadian. Seseorang dikatakan orang yang berkarakter
apabila tingkah lakunya sesuai dengan kaidah moral. Dari beberapa definisi
karakter di atas dapat disimpulkan bahwa karakter itu berkaitan dengan kekuatan
moral yang positif. Jadi, orang dikatakan berkarakter jika ia mempunyai
kualitas moral tertentu yang positif. Dengan demikian, pendidikan adalah
membangun karakter, yang secara implisit mengandung arti membangun sifat atau
pola perilaku yang didasari dimensi moral yang positif.
Pendidikan karakter bukan hanya pendidikan budi pekerti
sebagai pendidikan nilai moralitas manusia dalam tindakan nyata. Tetapi pendidikan karakter adalah
pendidikan budi pekerti ‘plus’ yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Hal ini senada dengan pendapat
Lickona (1992) yang menekankan tiga komponen karakter yang baik, yaitu moral knowing (pengetahuan tentang
moral), moral feeling (perasaan
tentang moral), dan moral action
(perbuatan moral), yang diperlukan agar anak mampu memahami, merasakan, dan
mengerjakan nilai-nilai kebajikan. Hill (2002) mengatakan “pendidikan karakter
mengajarkan kebiasaan berpikir dan perilaku yang membantu individu untuk hidup
dan bekerja bersama sebagai keluarga, masyarakat, dan bernegara serta membantu
mereka untuk membuat keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan.”
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
pendidikan karakter adalah proses pembentukan kepribadian, cara berpikir dan
perilaku manusia yang dibiasakan sehingga menjadi dasar moralitas dalam
menjalani hidupnya.
3.
Tujuan Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter merupakan upaya untuk membentuk dan mengembangkan
karakter positif siswa. Tujuan pendidikan di Indonesia mencakup tiga dimensi,
yaitu dimensi ketuhanan, pribadi, dan sosial. Artinya, pendidikan bukan di
arahkan pada pendidikan yang sekuler, individualistik, dan bukan pula
pendidikan sosialistik. Tetapi pendidikan di Indonesia diarahkan untuk mencari
keseimbangan antara ketuhanan, pribadi, dan sosial. Pembentukan karakter merupakan salah satu
tujuan pendidikan nasional. Pasal 1 UU Sisdiknas Tahun 2003 menyatakan bahwa di
antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik
agar memiliki kecerdasan, kepribadian, dan akhlak mulia. Harapan dari tujuan
pendidikan nasional tersebut adalah tidak hanya membentuk insan yang cerdas
secara IQ, namun juga EQ dan SQ sehingga
nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh dan berkembang dengan karakter
dan kepribadian yang berlandaskan nilai-nilai luhur bangsa (pancasila) dan
agama.
Pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan
akan mencerdaskan emosi anak. Kecerdasan emosi ini merupakan bekal penting
dalam mempersiapkan anak menyosongsong masa depan, karena kecerdasan emosi akan
memudahkan seseorang menghadapi segala macam tantangan kehidupan termasuk tantangan
keberhasilan secara akademis. Hal ini senada dengan pendapat Daniel Goleman tentang
keberhasilan seseorang di masyarakat yang menyatakan bahwa 80% dipengaruhi oleh
kecerdasan emosi dan hanya 20% ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ). Buku yang
berjudul Emotional Intelligence and
School Success (Joseph Zins, et.al, 2001) mengemukakan berbagai hasil
penelitian tentang pengaruh positif kecerdasan emosi anak terhadap keberhasilan
di sekolah. Mendukung pendapat di atas, Masnur Muslich (2011: 59) menyatakan
bahwa ada tiga hal yang menjadi tujuan pembinaan kecerdasan emosi, yaitu: (1)
menemukan pribadi (kekuatan dan kelemahan siswa), (2) mengenal lingkungan, dan
(3) merencanakan masa depan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan karakter adalah
untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan yang mengarah pada
pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh,
terpadu, dan seimbang dalam menyongsong masa depannya. Melalui pendidikan
karakter diharapkan peserta didik mampu secara mandiri meningkatkan dan
menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi, serta
mempersonalisasi nilai-nilai karakter akhlak mulia sehingga terwujud dalam
perilaku sehari-hari. Pada tingkat institusi, pendidikan karakter mengarah pada
pembentukan budaya sekolah, yaitu nilai–nilai yang melandasi perilaku, tradisi,
kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang di praktikan oleh semua warga
sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas,
karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di mata masyarakat luas.
B.
Nilai-nilai Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter harus mencakup semua struktur
antropologis manusia yang terdiri dari jasad, roh, dan akal (Koesoema A,
2007:80). Manusia yang layak dijadikan teladan adalah sosok yang selama ini
dijadikan panutan. Nabi, para pahlawan, pendiri bangsa, tokoh pendidikan adalah
orang-orang yang patut diteladani. Maka karakter yang paling ideal adalah
intelektual profetik (Masnur Muslich, 2011:76). Seorang intelektual profetik
memiliki karakter antara lain: sadar sebagai makhluk ciptaan Tuhan, cinta
Tuhan, bermoral, bijaksana, pembelajar sejati, mandiri, dan kontributif. Masnur
Muslich (2011:77-78) mengemukakan sembilan pilar karakter yang berasal dari
nilai-nilai luhur universal, yaitu: (1) cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya,
(2) kemandirian dan tanggungjawab, (3) kejujuran/amanah, diplomatis, (4) hormat
dan santun, (5) dermawan, suka tolong menolong dan gotong royong/kerjasama, (6)
percaya diri dan pekerja keras, (7) kepemimpinan dan keadilan, (8) baik dan
rendah hati, dan (9) toleransi, kedamaian, dan kesatuan. Kesembilan nilai
karakter itu diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan holistik dengan
metode knowing the good, feeling
the good, dan acting the good.
Character
Counts! Coalition (a project of The Joseph Institute of Ethics) dalam Masnur Muslich (2011:39) menyatakan ada enam pilar
karakater yang dapat menjadi acuan, yaitu:
1.
Trustworthiness, bentuk
karakter yang membuat seseorang menjadi berintegritas, jujur, dan loyal.
2.
Fairness, bentuk
karakter yang membuat seseorang memiliki pemikiran terbuka serta tidak suka
memanfaatkan orang lain.
3.
Caring, bentuk
karakter yang membuat seseorang memiliki sikap peduli dan perhatian terhadap
orang lain maupun kondisi sosial lingkungan sekitar.
4.
Respect, bentuk
karakter yang membuat seseorang selalu menghargai dan menghormati orang lain.
5.
Citizenship, bentuk
karakter yang membuat seseorang sadar hukum dan peraturan serta peduli terhadap
lingkungan alam.
6.
Responsibility, bentuk
karakter yang membuat seseorang bertanggungjawab, disiplin, dan selalu
melakukan sesuatu dengan sebaik mungkin.
Bangsa Indonesia menyepakati nilai-nilai yang di usung
menjadi pandangan filosofis kehidupan bangsanya. Nilai-nilai itu meliputi (1)
Ketuhanan yang maha Esa, (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, (3) Persatuan
Indonesia, (4) kerakyatan yang di pimpin oleh kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan, dan (5) Keadilan soaial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Nilai-nilai ini selaras dengan nilai-nilai yang kita sebut sebagai
lima pilar karakter berikut.
1.
Transendensi. Menyadari
bahwa manusia merupakan ciptaan tuhan yang
maha Esa .
2.
Humanisasi. Setiap
manusia pada hakekatnya setara di mata tuhan kecuali ilmu dan ketakwaan yang
membedakannya.
3.
Kebinekaan.
Kesadaran akan ada semakin banyak perbedaan di dunia.
4.
Liberasi.
Pembebasan atas penindasan sesama manusia.
5.
Keadilan.
Keadilan merupakan kunci kesejahteraan.
Karakter sangat di perlukan sebagai modal dasar untuk
memecahkan masalah besar yang di hadapi bangsa Indonesia selama ini. terkait
dengan itu, dalam diskusi (pada 19 Juni 2009) Dr. Sukamto mengemukakan bahwa
untuk melakukan pendidikan karakter, perlu adanya gagasan yang kuat (powerfull ideas) yang menjadi pintu
masuk pendidikan karakter. Powerfull ideas
ini meliputi:
1.
Gagasan tentang
Tuhan, dunia, dan saya (God, the world
and me);
2.
Memahami diri
sendiri (knowing your self);
3.
Menjadi manusia
bermoral (becoming a moral person);
4.
Memahami dan di
pahami (understanding and being understood
getting along with others);
5.
Bekerjasama dengan
orang lain (a sense of belonging);
6.
Mengambil kekuatan
di masa lalu (drawing strength from the
past);
7.
Konsisten sepanjang
waktu dan tempat (dien for all times and
places)
8.
Kepedulian terhadap
makhluk (caring for Allah’s creation);
9.
Membuat perbedaan (making a differenc); dan
10. Mengambil sesuatu yang pasti (taking the lead).
Nilai-nilai yang perlu di ajarkan kepada anak menurut Dr.
Sukamto, meliputi:
1.
Kejujuran;
2.
Loyalitas dan dapat
diandalkan;
3.
Hormat;
4.
Cinta;
5.
Ketidak egoisan dan
sensitifitas;
6.
Baik hati dan
pertemanan;
7.
Keberanian;
8.
Kedamaian;
9.
Mandiri dan
potensial;
10. Disiplin diri dan moderasi;
11. Kesetiaan dan kemurnian; dan
12. Keadilan dan kasih sayang.
C.
Upaya Guru untuk Menanamkan Pendidikan Karakter di
Sekolah Dasar
Seorang guru
diteladani karena kekuatan pribadi atau karisma melalui integritasnya, dan dihormati karena tindakannya, bukan karena status atau pangkatnya. Seorang guru yang ingin menularkan “karakternya” mampu mengambil inisiatif dalam perilaku. Bukan hanya
memerintah tetapi mulai
melakukan dari dirinya sendiri
selanjutnya memastikan bahwa siswanya dapat mencontoh dan melaksanakan nilai-nilai yang dilakukannya. Sebagaimana Inpres Nomor 1 Tahun 2010: Penyempurnaan kurikulum dan metode pembelajaran aktif berdasarkan nilai- nilai bangsa untuk membentuk daya saing dan karakter
bangsa. Pembelajaran
efektif untuk pendidikan karakter khususnya di sekolah dasar bukan mengedepankan teori tetapi keteladanan terutama dari guru, sesuai dengan pepatah jawa
“guru: digugu lan ditiru”.
Upaya-upaya
yang dapat dilakukan oleh guru di sekolah dasar untuk menanamkan pendidikan
karakter, antara lain:
1. Menerapkan program K3
(kebersihan, keindahan, dan ketertiban) secara kontinyu dan terus menerus
hingga K3 menjadi kebiasaan yang membudaya di sekolah. Bukan hanya menghafal
ketika siswa dihadapkan pada konsep kebersihan, keindahan, dan ketertiban
tetapi proses pembelajarannya lebih kepada praktik langsung dengan
memperhatikan lingkungan sekitar kelas atau sekolah.
2. Guru membiasakan untuk mengelola
kondisi kelas sebelum memulai pembelajaran. Mengkondisikan kelas dapat
dilakukan dengan cara mengatur kesiapan belajar anak didik, mengamati ketertiban
(kondisi/penampilan) anak didk, mengatur posisi dan ketertiban tempat duduk,
mengecek kebersihan kelas, dan sebagainya.
3. Guru berusaha untuk menjadi
potret atau ‘The Inspiring’ bagi
siswa. Guru mampu memberi contoh nyata yang baik (uswatun hasanah) bagi siswa.
Dengan demikian, yang diperoleh siswa tidak hanya materi pelajaran saja, tetapi
juga mengedepankan akhlak, yang selanjutnya membangun mental manusia sebagai pembelajar.
4. Guru berusaha untuk menjadi sahabat dan teman curhat bagi siswanya. Efektifitas evalusai karakter siswa tidak hanya soal buku laporan perilaku
siswa, melainkan mereka
melakukan pendekatan dari hati ke hati.
5. Mengintegrasikan materi-materi
pelajaran ke dalam kegiatan sehari-hari melalui keteladanan/contoh, kegiatan
spontan/teguran, pengkondisian lingkungan (penyediaan sarpras), kegiatan rutin
(berbaris, berdoa,mengucapkan salam, dll).
6. Mengintegrasikan materi-materi
pelajaran ke dalam kegiatan-kegiatan yang diprogramkan oleh sekolah dalam
rangka menumbuhkembangkan nilai-nilai karakter.
7. Menerapkan konsep pendidikan
holistik berbasis karakter. Pendekatan yang diterapkan: Student Active Learning, Developmentally Appropriate Practices,
Integrated Learning, Contextual Learning, Collaborative Learning, dan Multiple Intelligences. Metode yang
diterapkan: knowing the good, feeling the
good, loving the good, dan action the
good. Tujuannya adalah menyeimbangkan antara hati, otak, dan otot
(pendidikan holistik) dengan harapan siswa menjadi anak yang berpikir kreatif,
bertanggung jawab, dan mandiri (manusia holisik).
8. Membuat design perencanaan, pelaksanaan dan penilaian pembelajaran yang bernuansa karakter.
Perencanaan pembelajaran bernuansa karakter dapat dilakukan dengan pengintegrasian
dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran, dimana materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau
nilai-nilai pada setiap mata pelajaran dikembangkan, dieksplisitkan, dan
dikaitkan dengan konteks
kehidupan sehari-hari.
Sehingga pembelajaran nilai-nilai
karakter tidak hanya
pada tataran kognitif,
tetapi menyentuh pada internalisasi, dan
pengamalan nyata dalam
kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat. Tiga basis
design pendidikan karakter antara lain: (1) kelas (2) kultur sekolah, dan (3)
komunitas/kelompok pergaulan.
SIMPULAN
Secara khusus dalam konteks pendidikan istilah karakter muncul pada akhir
abad 18. Istilah ini pertamakali dicetuskan oleh pedagog Jerman F.W. Foerster. Secara
terminologi pendidikan karakter mengacu pada teori filsafat idealisme yaitu
pada sebuah pendekatan idealis-spiritualis dalam pendidikan yang juga dikenal
dengan teori pendidikan normatif. Prioritasnya adalah nilai-nilai transenden
yang dipercaya sebagai motor penggerak sejarah, baik bagi individu maupun bagi
sebuah perubahan sosial. Lahirnya pendidikan karakter bisa dikatakan sebagai
sebuah usaha untuk menghidupkan kembali pedagogi ideal-spiritual yang sempat
hilang diterjang gelombang positivisme. Dinamika pemahaman pendidikan karakter
berproses melalui tiga momen: momen
historis, momen reflektif, dan momen
praktis.
Pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan fundamental secara
intelektual dan emosional dalam berinteraksi dengan alam dan manusia. Sedangkan
karakter merupakan kepribadian, kumpulan nilai yang melandasi cara berpikir dan
berperilaku yang menjadi ciri khas individu yang terbentuk karena pembiasaan.
Jadi pendidikan karakter adalah proses pembentukan kepribadian, cara berpikir
dan berperilaku manusia yang dibiasakan sehingga menjadi dasar moralitas yang
mendorong dirinya untuk mewujudkan sikap dan perilaku yang baik dalam menjalani
hidupnya (dengan alam dan sesama manusia). Berdasarkan pengertian pendidikan
karakter di atas, sudah tersirat tujuan diterapkannya pendidikan karakter yang
intinya yaitu untuk membentuk watak/kepribadian, cara berpikir dan berperilaku
manusia yang diarahkan kepada hal-hal yang positif/baik. Melalui pendidikan
karakter diharapkan peserta didik mampu secara mandiri meningkatkan dan
menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi, serta
mempersonalisasi nilai-nilai karakter/ akhlak mulia dalam perilakunya
sehari-hari.
Bangsa Indonesia menyepakati nilai-nilai yang di usung
menjadi pandangan filosofis kehidupan bangsanya. Nilai-nilai itu meliputi: (1)
Ketuhanan yang maha Esa, (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, (3) Persatuan
Indonesia, (4) kerakyatan yang di pimpin oleh kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan, dan (5) Keadilan soaial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Nilai-nilai ini selaras dengan nilai-nilai yang kita sebut sebagai
lima pilar karakter yang meliputi: Transendensi.
Humanisasi, Kebinekaan, Liberasi, dan
Keadilan. Selanjutnya dari kelima nilai-nilai luhur bangsa Indonesia itu
dijabarkan menjadi 18 karakter pada kurikulum, yang antara lain: Religius, Jujur, Toleransi,
Disiplin, Kerja Keras, Kreatif, Mandiri, Demokratis, Rasa ingin tahu, Semangat kebangsaan, Cinta tanah
air, Menghargai prestasi, Bersahabat/komunikatif, Cinta damai, Gemar membaca,
Peduli lingkungan, Peduli sosial,
dan Tanggung jawab.
Upaya yang dilakukan oleh guru sekolah dasar
untuk menanamkan pendidikan karakter antara lain: menerapkan program K3 (kebersihan,
keindahan, dan ketertiban), membiasakan mengkondisikan kelas sebelum memulai
pembelajaran, guru berusaha menjadi idola yang uswatun hasanah bagi siswa, guru berusaha menjadi sahabat bagi
siswanya, mengintegrasikan materi pelajaran ke dalam kegiatan sehari-hari dan
ke dalam kegiatan-kegiatan yang diprogramkan oleh sekolah, menerapkan
pendidikan holistik berbasis karakter, dan membuat design pembelajaran yang
bernuansa karakter.
DAFTAR
PUSTAKA
Departemen Pendidikan Nasional. 2004. Undang-undang Republik
Indonesia No.20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta:
Depdiknas
D. Yahyakan. 2010. Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri.
Semarang: Pelangi Publising
Masnur Muslich. 2011. Pendidikan Karakter, Menjawab Tantangan
Krisis Multidimensional. Jakarta: Bumi Aksara
Iya, sama-sama ... Terimakasih suda mampir....
ReplyDelete